Sunday, July 5, 2009

abc

Makam Datu-Datu atau Ulama
Makam Datu atau Ulama telah di renovasi dan mendapatkan penambahan fasilitas sebagai upaya memfasilitasi peziarah yang merupakan salah satu budaya masyarakat yang bernuansa keagamaan, yang merupakan kekuatan pengembangan obyek wisata kabupaten Tapin sebagai wisata relegius. Pengembangan wisata ini sebagai upaya mengenal dan mengenang kembali sejarah, karena sebagai bangsa yang ingin maju tidak boleh melupakan sejarah perjuangan pendahulu kitakhususnya para Datu atau Ulama yang telah berjuang menyebarkan pengetahuan keagamaan dan kehidupan

Makam Datu Nuraya
Makam sebagai tujuan wisata ziarah antara lain makam Datu Nuraya yang merupakan makam panjang bahkan mungkin makam terpanjang di dunia (± 63 meter) dan haulannya (peringatan tahunan) adalah pada tanggal 14 Dzulhijjah. Makam ini terletak di desa Munggu Tayuh Tatakan Kecamatan Tapin Selatan.

Menurut riwayat, beliau bernama asli Abdul Rauf, seorang Habib yang berasal dari Syria yang datang pada hari raya menemui Datu Suban untuk menyerahkan kitab yang bernama Nyawa Alam yang di kemudian hari terkenal dengan nama Kitab Barencong.

Selesai menyerahkan Kitab tersebut beliau meninggal dunia dan dimakamkan di tempat dimana beliau meninggal tersebut.

Karena badan beliau tinggi dan besar, maka menguburkannya dibuat lubang yang panjang sesuai dengan ukuran panjang dan lebar badan beliau.


Makam Datu Nuraya

Banyak peziarah yang datang ke makam beliau. Tidak hanya penduduk lokal, tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya.

Makam Datu Suban
Datu Suban adalah seorang waliyullah yang memiliki Ilmu Hikmah dan menguasai Ma'rifat tingkat tinggi. Murid-muridnya berjumlah 12 orang. Tiap murid mempunyai tingkat Ilmu Kasyaf yang berbeda-beda, namun yang paling lengkap kajian ilmunya dan mendapat kehormatan untuk mewarisi Kitab Utama yang biasa disebut Kitab Barencong. Hanya murid beliau yang bernama Abdussamad Al-Palembangi atau dengan nama lain Datu Sanggul.


Makam Datu Suban

Dalam komplek makam tersebut terdapat makam beberapa murid utama beliau seperti Datu Karipis, Datu Diang Bulan, dan Datu Mayang Sari. Peziarah tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya. Haulannya dilaksanakan pada bulan Syawal setiap tahun

Makam Datu Sanggul
Selanjutnya adalah ziarah ke makam Datu Sanggul terletak di Desa Tatakan Kabupaten Tapin.


Papan nama makam Datu Sanggul


Makam Datu Sanggul


Ziarah ke makam Datu Sanggul

Riwayat Datu Sanggul
Datuk Sanggul berasal dari pulau Andalas ,sejarah mencatatnya bahwasanya beliau berasal dari kota Palembang yakni Sumatera Selatan, yang melakukan hijrah ke Kabupaten Tapin dengan membawa misi perkembangan agama Islam,hingga menetap di desa Tatakan kabupaten Tapin sampai beliau menghabiskan nafas terakhir dan disemayamkan di desa Tatakan Kabupaten Tapin.


Datu Sanggul

Semasa hidupnya, Datu Sanggul ke Tapin ( desa Muning Tatakan ) dalam rangka menuntut ilmu agama kepada Datu Suban, hal ini bukan berarti beliau belum memiliki ilmu agama, melainkan beliau sudah memiliki ilmu agama sudah cukup dan juga seorang Ulama. Dalam suatu mimpi ( ketika masih berada di Palembang ) didalam mimpinya bertemu dengan orang tua yang menasehati kalau anaknda Abdussamad mau mendapatkan ilmu sejati maka tuntutlah sekarang, dan orang itu berada didaerah Kalimantan Banjar tepatnya di kampung Muning pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa, di sana ada seorang tua (datu) yang bernama Suban (Datu Suban), atas petunjuk didalam mimpi itu Abdussamad berangkat menuju Kalimantan, yang sebelumnya mendapatkan izin dari orang tua kandung hingga sampailah beliau mendapatkan daerah yang dicari yaitu kampung Muning (Tatakan).

Setibanya di kampung Muning, beliau menemui Datu Suban dan menceritakan perihal akan mimpinya tersebut, dengan lapang dada seakan mengerti akan simbol rabbaniyahtul Ilm pada hallikwal waktu itu Datu Suban pun menerima dan mengerti akan maksud kedatangannya serta disambut serta sangat diharapkan oleh Datu Suban ibarat pepatah buku bertemu dengan ruas kemudian pasak bertemu dengan tiang. Atas pengamatan dan penilaian Datu Suban terhadap Datu Sanggul bahwasanya Datu Sanggul mempunyai sikap maupun watak yang berbeda dari murid-muridnya yang lain, sehingga Datuk Sanggul diberikan amanah untuk menjaga kitab oleh Datu Suban mengenai ilmu Ma'rifattullah.

Menurut catatan sejarah, aktifitas beliau sehari-hari yakni berburu rusa, katanya cara beliau berburu dengan cara menunggu ditempat yang sering dilalui oleh binatang buruan dan hasil dari berburunya didermakan ketetangga dan jiran sekitar rumah beliau.
Menurut mereka yang sefaham aliran dengan beliau ialah dengan ketaatan, ketawadhuan serta tingkat peribadatannya sampai mencapai martabat Abudah dan Badal. Metode pelaksanaan syariat keagamaannya di nilai sangat kuat seperti sholat Tahajjud terutama dibulan suci Ramadhan beliau selalu mengikat perut dan menguatkan ibadahnya untuk menunggu malam Lailatul Qadar, menurut kepercayaan orang Banjar pada malam ganjil dimulai pada 20 akhir Ramadhan beliau selalu menyanggul Lailatul Qadar, sehingga atas dasar tersebut masyarakat setempat digelari dengan sebutan Datu Sanggul.

Sementara keunikannya dari pola interaksi symbolic Datuk Sanggul, melalui Kitab Barencongnya pada manaqibnya penuh syair serta puisi dan pantun. Diceritakan oleh juri kunci pemakaman Julak Antung, dimana masyarakat sekitar memanggilnya, menurutnya melalui yang tercatat dalam sejarah yakni manaqib Datu Sanggul dengan riwayat Kitab Barencong yang diberikan Datu Suban kepada Datu Sanggul secara silsilah merupakan berasal dari Datu Nuraya yang maqamnya berada dekat pertahanan Datu Dulung ketika melawan Belanda dan benteng tersebut adalah benteng Munggu Tayuh digelari dengan Datu Nuraya karena datu tersebut datang ke kampung Muning bertepatan dengan hari raya selepas Datu Suban melaksanakan sholat Ied. Setelah berkenalan dan memperlihatkan sebuah kitab kepada Datu Suban tidak lama kemudian orang tersebut ambruk dan wafat pada hari raya itu juga. Mengenai riwayat Datu Nuraya tidak ada kejelasan dari mana beliau berasal dan apa tujuan beliau berada dikampung Muning Tatakan, namun menurut kabar yang berkembang di masyarakat ada yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari Hadramaut tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari pulau jawa, dengan gelar garandali, diceritakan garandali sebuah gelar yang luar biasa, namun ketawadhuan yang dimiliki Datu Nuraya membuat hidupnya lebih memilih merakyat, keutamaan garandali tak lain adalah seorang ulama yang selalu merakyat, halikwal dan keinginannya sudah bulat di tujukan hanya satu yakni kepada Allah SWT, sehingga setiap ibadah maupun di dalam memanfaatkan ilmunya,selalu merasa tak berdaya melainkan hanya dengan pertolongan Allah SWT, setiap kebaikan yang di anggapnya selalu hanya hadiah dari Allah.SWT, dengan seperti itu,menjadikan hati bahkan seluruh batang tubuhnya hanya sebagai persinggahan Allah.SWT saja dan ini tingkat ikhlash yang tertinggi ungkapnya.

Datu Nuraya, seorang figur garandali yang menempuh jalan gurur, jalan gurur yang selalu di kilati akan hal dan menurut kabar jalan ini tak mudah, dan konon beliau ini, dengan kain kebesarannya atau tapih dapat mengatur alam, yang tentunya atas izin Allah.SWT, seperti menurunkan hujan, mengatur petir, dan awan serta angin yang bertiup, sehingga setiap beliau berjalan di terik matahari awan selalu menaunginya, Sementara itu juga ada kabar yang menyebutkan bahwasanya beliau bernama Syekh Gede Jangkung, hal ini dilihat dari ukuran makam beliau yang panjangnya 63 meter. Kitab yang diberikan Datu Nuraya kepada Datu Suban berisi tuntunan hidup pada kehidupan lahir dan bathin untuk kehidupan didunia maupun dikehidupan akhirat serta rahasia alam dan rahasia rubbubiyah, serta menyangkut Rabbaniyatul Ilm dan Rabbaniyatul hukum.

Kembali ke Datu Sanggul bertemu dan menjalin persaudaraan dengan Datu Kelampaian, di ceritakan oleh masyarakat setempat, akan hallikhwal Datu Kelampaian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengaji ke mekkah, beliau sudah melakukan ikatan lahir bathin dengan Datu Sanggul, yakni (beangkatan dangsanak) jika orang banjar mengartikan.

Ikatan saudara ini lebih di perluas dengan saling memberikan pengetahuan satu sama lainnya, dimana keingintahuan Datu Kelampaian pada isi kitab Datu Sanggul terpenuhi, sementara pesan Datu sanggul kepada datu kelampaian yakni , kalau adinda bulik ke banua yang sarincung kitab ini kaina ambil di Kampung Muning Tatakan dengan syarat harus membawa kain putih, sebab bila kitab ini bersatu lagi salah satu diantara kita akan kembali kepada Allah.SWT.

Ketika Datu Kelampaian pulang ke kampung halaman di Martapura setelah 30 tahun mengaji di Mekkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram Mekkah pada bulan Ramadhan 1186 H atau bulan Desember 1772 M, usai Datu Kelampaian berkumpul dengan keluarga maka beliau teringat dengan Datu Sanggul sebagai saudara yang ada di kampung muning Tatakan dengan berencana akan melakukan silahturhami.
Sesampainya di kampung Muning beliau sampai pada gubuk yang sederhana apakah benar suadara Datu Sanggul telah pulang kerahmatullah, dan konon meninggalnya Datu Sanggul ditandai dengan hujan lebat selama tiga hari tiga malam berturut-turut,yang menandakan bahwa langit dan bumi merasa bersedih atas kepergiannya.


Syekh Salman Al-Farisi
Makam Syekh Salman Al-Farisi terletak di desa Gadung Kecamatan Bakarangan, 7 km dari kota Rantau. Beliau seorang Ahli Pendidikan dan judga Ahli Falaqiah yang banyak membantu masyarakat dalam membuat kalender pertanian.

Semasa hidupnya beliau mengajarkan agama yaitu pelajaran Sifat 20 atau pelajaran Tauhid Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu Fiqh lainnya. Syekh Salman Al-Farisi hidup antara tahun 1857-1920 dan merupakan cicit Datu Kalampaian Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.


Makam Syekh Salman Al-Farisi

Makam ini tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah di Kalimantan, Jawa,dan Sumatera bahkan dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Haulan Syekh Salman Al-Farisi dilaksanakan setiap tanggal 9 Dzulhijjah.
Sekitar 200 meter dari makam beliau terdapat makam anak cucu beliau yang juga sangat termashur yaitu H. Muhammad dan Wali H. Muhammad Noor atau Wali An-Noor


Masjid Banua Halat ( Masjid Al-Mukarramah)
Seperti Masjid yang lainnya, Masjid Keramat Banua Halat di Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya terlebih secara kultural pada aspek kepercayaan masyarakat sekitar, semenjak turun temurun masjid tersebut mempunyai sebuah karismatik sebagai ikon peninggalan sejarah perjuangan para tokoh agama di dalam mengembangkan misi agama Islam di daerah sekitar masjid.

Daerah itu sendiri dinamakan Banua Halat karena kampung tersebut dinilai sebagai pahalat atau pembatas antara warga yang beragama Islam dan penduduk yang masih menganut kepercayaan tertentu. Meski telah memeluk Islam, tradisi baayun tetap dipertahankan.


Masjid Banua Halat

Masjid tersebut diperkirakan didirikan pada masa Kerajaan Banjar tahun 1890 di bawah pimpinan Sultan Muda Abdurrahman. Pada tahun 1910 masjid itu dibakar penjajah Belanda, tetapi kemudian dibangun kembali dan baru selesai tahun 1914. Pada tahun 1993 masjid tua di Banua Halat itu ditetapkan sebagai cagar budaya.

"Masjid Banua Halat" ternyata memiliki magnet lain yang sangat kuat sebagai daya tarik wisata. Karena bagi sebagian orang, Masjid Banua Halat sebagai tujuan wisata religius di Kabupaten Tapin sekaligus simbol ke-istimewaan masyarakat Tapin. Salah satu warga setempat menyatakan, "kurang afdhol jika berziarah ke maqam-maqam di tapin jika tak mengunjungi masjid Keramat Banua Halat", itulah kepercayaan turun temurun nenek moyang mereka tentang masjid tersebut, terlebih lagi tutus, keturunan yang masih asli banua halat terdapat disitu, karena warga desa banua halat enggan pindah dari satu daerah ke daerah lain selain itu juga terdapat fenomena seperti makhluk halus dari bangsa Jin yang kerap mengunjungi masjid Banua Halat setiap bulan Maulid dengan berbaur dengan manusia dalam perayaan baayun anak dan selalu ada saja keistimewaan setiap tahun di masjid banua halat ini.

KISAH DARI BANJAR 2

Makam Datu-Datu atau Ulama
Makam Datu atau Ulama telah di renovasi dan mendapatkan penambahan fasilitas sebagai upaya memfasilitasi peziarah yang merupakan salah satu budaya masyarakat yang bernuansa keagamaan, yang merupakan kekuatan pengembangan obyek wisata kabupaten Tapin sebagai wisata relegius. Pengembangan wisata ini sebagai upaya mengenal dan mengenang kembali sejarah, karena sebagai bangsa yang ingin maju tidak boleh melupakan sejarah perjuangan pendahulu kitakhususnya para Datu atau Ulama yang telah berjuang menyebarkan pengetahuan keagamaan dan kehidupan

Makam Datu Nuraya
Makam sebagai tujuan wisata ziarah antara lain makam Datu Nuraya yang merupakan makam panjang bahkan mungkin makam terpanjang di dunia (± 63 meter) dan haulannya (peringatan tahunan) adalah pada tanggal 14 Dzulhijjah. Makam ini terletak di desa Munggu Tayuh Tatakan Kecamatan Tapin Selatan.

Menurut riwayat, beliau bernama asli Abdul Rauf, seorang Habib yang berasal dari Syria yang datang pada hari raya menemui Datu Suban untuk menyerahkan kitab yang bernama Nyawa Alam yang di kemudian hari terkenal dengan nama Kitab Barencong.

Selesai menyerahkan Kitab tersebut beliau meninggal dunia dan dimakamkan di tempat dimana beliau meninggal tersebut.

Karena badan beliau tinggi dan besar, maka menguburkannya dibuat lubang yang panjang sesuai dengan ukuran panjang dan lebar badan beliau.


Makam Datu Nuraya

Banyak peziarah yang datang ke makam beliau. Tidak hanya penduduk lokal, tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya.

Makam Datu Suban
Datu Suban adalah seorang waliyullah yang memiliki Ilmu Hikmah dan menguasai Ma'rifat tingkat tinggi. Murid-muridnya berjumlah 12 orang. Tiap murid mempunyai tingkat Ilmu Kasyaf yang berbeda-beda, namun yang paling lengkap kajian ilmunya dan mendapat kehormatan untuk mewarisi Kitab Utama yang biasa disebut Kitab Barencong. Hanya murid beliau yang bernama Abdussamad Al-Palembangi atau dengan nama lain Datu Sanggul.


Makam Datu Suban

Dalam komplek makam tersebut terdapat makam beberapa murid utama beliau seperti Datu Karipis, Datu Diang Bulan, dan Datu Mayang Sari. Peziarah tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi tetapi banyak juga dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Arab Saudi, Syria, Inggris, India dan lain sebagainya. Haulannya dilaksanakan pada bulan Syawal setiap tahun

Makam Datu Sanggul
Selanjutnya adalah ziarah ke makam Datu Sanggul terletak di Desa Tatakan Kabupaten Tapin.


Papan nama makam Datu Sanggul


Makam Datu Sanggul


Ziarah ke makam Datu Sanggul

Riwayat Datu Sanggul
Datuk Sanggul berasal dari pulau Andalas ,sejarah mencatatnya bahwasanya beliau berasal dari kota Palembang yakni Sumatera Selatan, yang melakukan hijrah ke Kabupaten Tapin dengan membawa misi perkembangan agama Islam,hingga menetap di desa Tatakan kabupaten Tapin sampai beliau menghabiskan nafas terakhir dan disemayamkan di desa Tatakan Kabupaten Tapin.


Datu Sanggul

Semasa hidupnya, Datu Sanggul ke Tapin ( desa Muning Tatakan ) dalam rangka menuntut ilmu agama kepada Datu Suban, hal ini bukan berarti beliau belum memiliki ilmu agama, melainkan beliau sudah memiliki ilmu agama sudah cukup dan juga seorang Ulama. Dalam suatu mimpi ( ketika masih berada di Palembang ) didalam mimpinya bertemu dengan orang tua yang menasehati kalau anaknda Abdussamad mau mendapatkan ilmu sejati maka tuntutlah sekarang, dan orang itu berada didaerah Kalimantan Banjar tepatnya di kampung Muning pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa, di sana ada seorang tua (datu) yang bernama Suban (Datu Suban), atas petunjuk didalam mimpi itu Abdussamad berangkat menuju Kalimantan, yang sebelumnya mendapatkan izin dari orang tua kandung hingga sampailah beliau mendapatkan daerah yang dicari yaitu kampung Muning (Tatakan).

Setibanya di kampung Muning, beliau menemui Datu Suban dan menceritakan perihal akan mimpinya tersebut, dengan lapang dada seakan mengerti akan simbol rabbaniyahtul Ilm pada hallikwal waktu itu Datu Suban pun menerima dan mengerti akan maksud kedatangannya serta disambut serta sangat diharapkan oleh Datu Suban ibarat pepatah buku bertemu dengan ruas kemudian pasak bertemu dengan tiang. Atas pengamatan dan penilaian Datu Suban terhadap Datu Sanggul bahwasanya Datu Sanggul mempunyai sikap maupun watak yang berbeda dari murid-muridnya yang lain, sehingga Datuk Sanggul diberikan amanah untuk menjaga kitab oleh Datu Suban mengenai ilmu Ma'rifattullah.

Menurut catatan sejarah, aktifitas beliau sehari-hari yakni berburu rusa, katanya cara beliau berburu dengan cara menunggu ditempat yang sering dilalui oleh binatang buruan dan hasil dari berburunya didermakan ketetangga dan jiran sekitar rumah beliau.
Menurut mereka yang sefaham aliran dengan beliau ialah dengan ketaatan, ketawadhuan serta tingkat peribadatannya sampai mencapai martabat Abudah dan Badal. Metode pelaksanaan syariat keagamaannya di nilai sangat kuat seperti sholat Tahajjud terutama dibulan suci Ramadhan beliau selalu mengikat perut dan menguatkan ibadahnya untuk menunggu malam Lailatul Qadar, menurut kepercayaan orang Banjar pada malam ganjil dimulai pada 20 akhir Ramadhan beliau selalu menyanggul Lailatul Qadar, sehingga atas dasar tersebut masyarakat setempat digelari dengan sebutan Datu Sanggul.

Sementara keunikannya dari pola interaksi symbolic Datuk Sanggul, melalui Kitab Barencongnya pada manaqibnya penuh syair serta puisi dan pantun. Diceritakan oleh juri kunci pemakaman Julak Antung, dimana masyarakat sekitar memanggilnya, menurutnya melalui yang tercatat dalam sejarah yakni manaqib Datu Sanggul dengan riwayat Kitab Barencong yang diberikan Datu Suban kepada Datu Sanggul secara silsilah merupakan berasal dari Datu Nuraya yang maqamnya berada dekat pertahanan Datu Dulung ketika melawan Belanda dan benteng tersebut adalah benteng Munggu Tayuh digelari dengan Datu Nuraya karena datu tersebut datang ke kampung Muning bertepatan dengan hari raya selepas Datu Suban melaksanakan sholat Ied. Setelah berkenalan dan memperlihatkan sebuah kitab kepada Datu Suban tidak lama kemudian orang tersebut ambruk dan wafat pada hari raya itu juga. Mengenai riwayat Datu Nuraya tidak ada kejelasan dari mana beliau berasal dan apa tujuan beliau berada dikampung Muning Tatakan, namun menurut kabar yang berkembang di masyarakat ada yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari Hadramaut tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Datu Nuraya berasal dari pulau jawa, dengan gelar garandali, diceritakan garandali sebuah gelar yang luar biasa, namun ketawadhuan yang dimiliki Datu Nuraya membuat hidupnya lebih memilih merakyat, keutamaan garandali tak lain adalah seorang ulama yang selalu merakyat, halikwal dan keinginannya sudah bulat di tujukan hanya satu yakni kepada Allah SWT, sehingga setiap ibadah maupun di dalam memanfaatkan ilmunya,selalu merasa tak berdaya melainkan hanya dengan pertolongan Allah SWT, setiap kebaikan yang di anggapnya selalu hanya hadiah dari Allah.SWT, dengan seperti itu,menjadikan hati bahkan seluruh batang tubuhnya hanya sebagai persinggahan Allah.SWT saja dan ini tingkat ikhlash yang tertinggi ungkapnya.

Datu Nuraya, seorang figur garandali yang menempuh jalan gurur, jalan gurur yang selalu di kilati akan hal dan menurut kabar jalan ini tak mudah, dan konon beliau ini, dengan kain kebesarannya atau tapih dapat mengatur alam, yang tentunya atas izin Allah.SWT, seperti menurunkan hujan, mengatur petir, dan awan serta angin yang bertiup, sehingga setiap beliau berjalan di terik matahari awan selalu menaunginya, Sementara itu juga ada kabar yang menyebutkan bahwasanya beliau bernama Syekh Gede Jangkung, hal ini dilihat dari ukuran makam beliau yang panjangnya 63 meter. Kitab yang diberikan Datu Nuraya kepada Datu Suban berisi tuntunan hidup pada kehidupan lahir dan bathin untuk kehidupan didunia maupun dikehidupan akhirat serta rahasia alam dan rahasia rubbubiyah, serta menyangkut Rabbaniyatul Ilm dan Rabbaniyatul hukum.

Kembali ke Datu Sanggul bertemu dan menjalin persaudaraan dengan Datu Kelampaian, di ceritakan oleh masyarakat setempat, akan hallikhwal Datu Kelampaian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengaji ke mekkah, beliau sudah melakukan ikatan lahir bathin dengan Datu Sanggul, yakni (beangkatan dangsanak) jika orang banjar mengartikan.

Ikatan saudara ini lebih di perluas dengan saling memberikan pengetahuan satu sama lainnya, dimana keingintahuan Datu Kelampaian pada isi kitab Datu Sanggul terpenuhi, sementara pesan Datu sanggul kepada datu kelampaian yakni , kalau adinda bulik ke banua yang sarincung kitab ini kaina ambil di Kampung Muning Tatakan dengan syarat harus membawa kain putih, sebab bila kitab ini bersatu lagi salah satu diantara kita akan kembali kepada Allah.SWT.

Ketika Datu Kelampaian pulang ke kampung halaman di Martapura setelah 30 tahun mengaji di Mekkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram Mekkah pada bulan Ramadhan 1186 H atau bulan Desember 1772 M, usai Datu Kelampaian berkumpul dengan keluarga maka beliau teringat dengan Datu Sanggul sebagai saudara yang ada di kampung muning Tatakan dengan berencana akan melakukan silahturhami.
Sesampainya di kampung Muning beliau sampai pada gubuk yang sederhana apakah benar suadara Datu Sanggul telah pulang kerahmatullah, dan konon meninggalnya Datu Sanggul ditandai dengan hujan lebat selama tiga hari tiga malam berturut-turut,yang menandakan bahwa langit dan bumi merasa bersedih atas kepergiannya.


Syekh Salman Al-Farisi
Makam Syekh Salman Al-Farisi terletak di desa Gadung Kecamatan Bakarangan, 7 km dari kota Rantau. Beliau seorang Ahli Pendidikan dan judga Ahli Falaqiah yang banyak membantu masyarakat dalam membuat kalender pertanian.

Semasa hidupnya beliau mengajarkan agama yaitu pelajaran Sifat 20 atau pelajaran Tauhid Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu Fiqh lainnya. Syekh Salman Al-Farisi hidup antara tahun 1857-1920 dan merupakan cicit Datu Kalampaian Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.


Makam Syekh Salman Al-Farisi

Makam ini tidak pernah sepi dari peziarah yang datang dari berbagai daerah di Kalimantan, Jawa,dan Sumatera bahkan dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Haulan Syekh Salman Al-Farisi dilaksanakan setiap tanggal 9 Dzulhijjah.
Sekitar 200 meter dari makam beliau terdapat makam anak cucu beliau yang juga sangat termashur yaitu H. Muhammad dan Wali H. Muhammad Noor atau Wali An-Noor


Masjid Banua Halat ( Masjid Al-Mukarramah)
Seperti Masjid yang lainnya, Masjid Keramat Banua Halat di Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya terlebih secara kultural pada aspek kepercayaan masyarakat sekitar, semenjak turun temurun masjid tersebut mempunyai sebuah karismatik sebagai ikon peninggalan sejarah perjuangan para tokoh agama di dalam mengembangkan misi agama Islam di daerah sekitar masjid.

Daerah itu sendiri dinamakan Banua Halat karena kampung tersebut dinilai sebagai pahalat atau pembatas antara warga yang beragama Islam dan penduduk yang masih menganut kepercayaan tertentu. Meski telah memeluk Islam, tradisi baayun tetap dipertahankan.


Masjid Banua Halat

Masjid tersebut diperkirakan didirikan pada masa Kerajaan Banjar tahun 1890 di bawah pimpinan Sultan Muda Abdurrahman. Pada tahun 1910 masjid itu dibakar penjajah Belanda, tetapi kemudian dibangun kembali dan baru selesai tahun 1914. Pada tahun 1993 masjid tua di Banua Halat itu ditetapkan sebagai cagar budaya.

"Masjid Banua Halat" ternyata memiliki magnet lain yang sangat kuat sebagai daya tarik wisata. Karena bagi sebagian orang, Masjid Banua Halat sebagai tujuan wisata religius di Kabupaten Tapin sekaligus simbol ke-istimewaan masyarakat Tapin. Salah satu warga setempat menyatakan, "kurang afdhol jika berziarah ke maqam-maqam di tapin jika tak mengunjungi masjid Keramat Banua Halat", itulah kepercayaan turun temurun nenek moyang mereka tentang masjid tersebut, terlebih lagi tutus, keturunan yang masih asli banua halat terdapat disitu, karena warga desa banua halat enggan pindah dari satu daerah ke daerah lain selain itu juga terdapat fenomena seperti makhluk halus dari bangsa Jin yang kerap mengunjungi masjid Banua Halat setiap bulan Maulid dengan berbaur dengan manusia dalam perayaan baayun anak dan selalu ada saja keistimewaan setiap tahun di masjid banua halat ini.

Prosesi baayun maulid diperkirakan sudah ada sejak masuknya Islam di daerah itu pada awal abad ke-17. Baayun sendiri bukan datang dari tradisi Islam. Tradisi ini diperkirakan terkait dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat setempat yang sudah ada sejak lama dan terus bertahan. Penduduk asli Banua Halat memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan dengan warga Dayak Bukit yang tinggal di Pegunungan Meratus, Kalsel.


foto penampakan wajah dari asap gunung merapi

Tuesday, June 30, 2009

KISAH DARI BANJAR 1

Habib Hamid bin Abbas Bahasyim (Basirih)

habib_basirih

Jumlah pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat dibandingkan dengan makam Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi ketokohan beliau. Sunan Ampel adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman Kesultanan Demak. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.

Nasab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.

Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).

Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.

Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).

Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.

Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).

“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.

Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.

Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadidjah.